Friday, April 12, 2013

Pengadaan Stasioneri atau Alat Tulis Kantor


Setiap unit kerja, tentu memerlukan alat tulis kantor untuk menunjang pekerjaan para staf dan karyawan. Pengadaan alat tulis, menjadi pos yang sangat rawan menyebabkan terjadinya kerugian Negara. Sekali lagi kita tidak bisa mengasumsikan besaran yang dilibatkan adalah kecil, dan dengan demikian kita mendiamkan saja proses yang salah tersebut.
Dengan mudah, unit kerja dapat mengikat kontrak dengan penyedia alat kantor, yang dengan demikian tentu akan menguntungkan mengingat harga yang ditetapkan akan lebih rendah, dan pembayaran dapat dilakukan pascatransaksi penjualan. Contoh yang paling konkrit adalah pembelian kertas. Harga kertas di pasaran adalah Rp. 30.000 per rim untuk ukuran A4, HVS, 80 gram. Jikalau diadakan kontrak tahunan, pembeliannya tentu saja lebih banyak, dan harganya dapat lebih rendah, misalnya Rp. 28.000 per rim. Lebih jauh lagi, pembayaran dapat dilakukan dengan kredit, yakni pembayaran tagihan per bulan. Keuntungan lainnya adalah, barang yang dibeli, dihantar ke kantor pembeli.
Pada kenyataannya, unit kerja memang mempunyai langganan toko pemasok alat tulis kantor, dan pembayarannya pun dapat dilakukan secara kredit. Namun demikian tetap saja dilakukan dengan penyelewengan, yakni:
  1. Harga ditetapkan pada harga pasar di toko swalayan terkenal, yang besarannya menjadi rujukan penetapan harga. Jikalau harga riil adalah Rp. 28.000, di dalam nota pembelian ditulis sebagai Rp. 30.000. Ada pun selisihnya akan dikembalikan oleh toko penjual (langganan) kepada unit kerja;
  2. Penggelembungan harga di atas kemudian dikombinasikan dengan menurunkan kualitas barang. Barang yang dipesan bukan lagi dengan spesifikasi di atas, namun menjadi kertas A4, HVS, 70 gram, yang harga per rimnya lebih murah dari harga satuan di atas. Misalnya harga satuan kertas jenis 70 gram ini adalah Rp. 26.000, manakala dalam nota diakui pembelian kertas jenis 80 gram.


Bisakah dibayangkan cashback (pengembalian) yang didapatkan oleh para karyawan di unit kerja tersebut? Saat ini mungkin Peraturan Menteri Keuangan tidak menetapkan harga perolehan aktual (at cost), namun dengan penetapan biaya maksimum per orang per tahun sebesar Rp. 1.300.000, namun pengadaannya tidak dilakukan oleh orang per orang, namun dilakukan oleh unit kerja. Tetap saja, lubang kebocoran dapat dirasakan, yakni dengan menetapkan pembelian sebesar biaya maksimal, namun jumlah alat tulis yang dibeli hanyalah sesuai kebutuhan.

No comments:

Post a Comment