Peraturan menteri keuangan, mengijinkan pos
pengeluaran uang transportasi rapat dalam kota, yang besarnya bervariasi untuk
tiap provinsi. Peserta rapat, berhak mendapatkan biaya perjalanan/uang
transport, apalagi jika rapat yang dihadiri berdurasi cukup panjang. Nah, uang
transport ini tidak jelas dibayarkan oleh siapa. Penyelenggara (pengundang)
rapat akan menyediakan uang tersebut, manakala instansi tempat karyawan bekerja
(pihak diundang) pun menyediakan uang transport ini. Ada pun bukti pengeluaran
yang dapat dibenarkan adalah daftar hadir (pengundang rapat) dan nota sederhana
yang ditandatangani sendiri oleh peserta rapat yang kemudian diklaim-kan kepada
instansi tempatnya bekerja, dan ini menjadi beban instansi yang diundang.
Sebuah pos (uang transport) dibebankan pada 2
instansi (double posting), yakni di instansi pengundang mau pun di instansi
yang diundang. Belum lagi jika kita melihat kenyataan bahwa, para peserta rapat
tersebut diantar-jemput ke dan dari tempat rapat dengan menggunakan kendaraan
operasional. Dengan demikian ada pos tambahan lainnya, yakni biaya Bahan Bakar
Minyak (ditambah ongkos parkir) kendaraan operasional yang digunakan.
Manipulasi yang dilakukan terkait praktik uang
transport ini sangat sederhana, dan telah dilakukan sejak lama. Peserta rapat
menandatangani daftar hadir rangkap tiga. Salah satu dari daftar hadir tersebut
adalah bukti penerimaan/pembayaran uang rapat/tranpor. Uang yang besarnya Rp.
110 ribu rupiah, dapat saja dibayarkan penuh, sebagian atau pun tidak
dibayarkan sama sekali. Jika opsi dibayarkan sebagian atau tidak dibayarkan
diambil oleh penyelenggara rapat, maka penyelenggara rapat telah mendapatkan
‘keuntungan’ dari penyelenggaraan rapat di tempatnya. Tidak perlu dikuatirkan
mengenai bukti kesalahan, karena peserta telah menandatangani daftar hadir dan
bukti penerimaan uang transpor.
No comments:
Post a Comment