Friday, April 12, 2013

Pengadaan Tenaga Teknis Pendukung Kegiatan

Dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, sebuah unit kerja di Kementerian/Lembaga Negara, diperkenankan untuk mendapatkan bantuan atau pun menyewa tenaga ahli non-pegawai negeri. Mereka seringkali disebut sebagai support atau pun konsultan. Biaya pengadaan konsultan ini dapat dibebankan pada Negara melalui pembayaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), atau pun dibiayai oleh Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN). Perekrutan tenaga konsultan non-pegawai negeri sipil ini sangat rawan dengan penyelewengan anggaran, yang prakteknya lebih menyerupai praktik penyerahan upeti kepada birokrat. Ada pun praktik-praktik penyelewengan adalah sebagai berikut:

  1. Perekrutan tenaga konsultan yang dibayar di bawah pagu yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan. Namun tenaga konsultan menandatangani Surat Kontrak dengan nilai kontrak sesuai pagu. Selisih antara nilai kontrak dengan jumlah yang dibayarkan, menjadi ‘tambahan’ penghasilan unit kerja.
  2. Perekrutan tenaga ahli yang jumlahnya di bawah jumlah yang diperkenankan. Semisal dalam sebuah sekretariat pendukung kegiatan ditetapkan 5 orang tenaga ahli, namun pada kenyataannya hanya diperkejakan satu (1) orang tenaga pendukung. Namun demikian, unit kerja bersusah payah mendapatkan kontrak dengan tenaga fiktif, sehingga dalam pembukuannya, tenaga ahli yang direkrut adalah sebanyak yang diijinkan. Tenaga fiktif yang dipinjam tandatangannya untuk pengisian daftar hadir bulanan dan kontrak aspal, mendapat balas jasa sejumlah tertentu setiap bulannya dan telah disepakati bersama antara unit kerja (bisa Pejabat Pembuat Komitmen atau pun staf lainnya, bahkan bisa juga pejabat eselon III atau pun II, bahkan eselon I).   
  3.  Tenaga konsultan yang dibiayai dengan PHLN, biasanya ‘diminta’ kerelaannya untuk menyumbang kepada unit kerja. Alasannya adalah remunerasi yang dibayarkan oleh donor lebih tinggi dari pada yang dibayarkan oleh Negara melalui APBN. Alasan lain yang digunakan adalah kontribusi tersebut akan digunakan untuk subsidi silang bagi pegawai rendah di unit kerja yang bersangkutan. Permasalahan akan timbul ketika konsultan meminta surat keterangan penerimaan ‘sumbangan’, karena tentu saja, konsultan harus membayar pajak yang lebih tinggi dari penerimaan riil yang didapat. Unit kerja tidak bersedia memberikan surat keterangan tersebut, karena jika surat tersebut diterbitkan, unit kerja akan mengakui ‘pemerasan’ yang terjadi. Meskipun lembaga donor yang memberikan bantuan PHLN melakukan audit tahunan melalui Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), namun penyelewengan ini tidak pernah bisa dibuktikan, karena sifatnya yang tertutup (under table).
Pengalaman penulis dalam hal penugasan tenaga pendukung/ahli/konsultan adalah bahwa Unit Kerja sangat menyandarkan kerja kepada tenaga konsultan tersebut, dan memperkejakannya secara maksimal. Dalih pendayagunaan maksimal tersebut adalah bahwa konsultan sudah digaji mahal, sehingga kontribusinya dituntut setinggi-tingginya. Namun jikalau hipotesa remunerasi tinggi tersebut benar, maka ternyata jumlah riil yang diterima pun mendapat potongan dari pemberi kerja.
Aktivitas potongan gaji untuk karyawan lepas, pada saat ini bisa dibatasi, karena baik kas Negara mau pun kas lembaga donor mensyaratkan pembayaran gaji langsung ke rekening karyawan. Namun ternyata secara sembunyi atau pun terang-terangan, karyawan-karyawan jenjang tertentu yang biasanya setingkat penyelia, akan meminta kontribusi gaji dengan alasan apa pun. Apakah hal ini bisa digolongkan korupsi? Atau mungkin bisa dikatakan sebagai penjajahan birokrasi? Faktanya adalah, penulis mendapati tenaga ahli yang mendapat gaji per bulan setengah dari pagu yang ditetapkan (tercantum di dalam kontrak kerja), dan setengah sisanya, menjadi bagian karyawan tetap (pns) di unit kerja yang bersangkutan.
          Penulis mendapati bahwa untuk sebuah tim koordinasi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan pejabat Eselon I, Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) menetapkan bahwa tim ini akan berisi 12 tenaga ahli dan seorang sekretaris. Namun pada kenyataannya, tenaga ahli yang diperkejakan hanya satu orang dan satu orang sekretaris. Anehnya, ketika tim harus melaksanakan kunjungan lapangan, tidak ada dana yang bisa dipergunakan untuk membiayai perjalanan dinas dan kegiatan rapat koordinasi. Padahal butir tersebut tercantum di dalam RAB. Di akhir tahun anggaran, laporan kegiatan mencatat penyerapan dana 100 persen. Percayakah anda bahwa tim koordinasi ini berada di Kementerian yang telah menerapkan Reformasi Birokrasi yang memiliki sasaran terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

No comments:

Post a Comment