Dalam
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, sebuah unit kerja di Kementerian/Lembaga
Negara, diperkenankan untuk mendapatkan bantuan atau pun menyewa tenaga ahli
non-pegawai negeri. Mereka seringkali disebut sebagai support atau pun
konsultan. Biaya pengadaan konsultan ini dapat dibebankan pada Negara melalui
pembayaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), atau pun dibiayai
oleh Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN). Perekrutan tenaga konsultan non-pegawai
negeri sipil ini sangat rawan dengan penyelewengan anggaran, yang prakteknya
lebih menyerupai praktik penyerahan upeti kepada birokrat. Ada pun
praktik-praktik penyelewengan adalah sebagai berikut:
- Perekrutan tenaga konsultan yang dibayar di bawah pagu yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan. Namun tenaga konsultan menandatangani Surat Kontrak dengan nilai kontrak sesuai pagu. Selisih antara nilai kontrak dengan jumlah yang dibayarkan, menjadi ‘tambahan’ penghasilan unit kerja.
- Perekrutan tenaga ahli yang jumlahnya di bawah jumlah yang diperkenankan. Semisal dalam sebuah sekretariat pendukung kegiatan ditetapkan 5 orang tenaga ahli, namun pada kenyataannya hanya diperkejakan satu (1) orang tenaga pendukung. Namun demikian, unit kerja bersusah payah mendapatkan kontrak dengan tenaga fiktif, sehingga dalam pembukuannya, tenaga ahli yang direkrut adalah sebanyak yang diijinkan. Tenaga fiktif yang dipinjam tandatangannya untuk pengisian daftar hadir bulanan dan kontrak aspal, mendapat balas jasa sejumlah tertentu setiap bulannya dan telah disepakati bersama antara unit kerja (bisa Pejabat Pembuat Komitmen atau pun staf lainnya, bahkan bisa juga pejabat eselon III atau pun II, bahkan eselon I).
- Tenaga konsultan yang dibiayai dengan PHLN, biasanya ‘diminta’ kerelaannya untuk menyumbang kepada unit kerja. Alasannya adalah remunerasi yang dibayarkan oleh donor lebih tinggi dari pada yang dibayarkan oleh Negara melalui APBN. Alasan lain yang digunakan adalah kontribusi tersebut akan digunakan untuk subsidi silang bagi pegawai rendah di unit kerja yang bersangkutan. Permasalahan akan timbul ketika konsultan meminta surat keterangan penerimaan ‘sumbangan’, karena tentu saja, konsultan harus membayar pajak yang lebih tinggi dari penerimaan riil yang didapat. Unit kerja tidak bersedia memberikan surat keterangan tersebut, karena jika surat tersebut diterbitkan, unit kerja akan mengakui ‘pemerasan’ yang terjadi. Meskipun lembaga donor yang memberikan bantuan PHLN melakukan audit tahunan melalui Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), namun penyelewengan ini tidak pernah bisa dibuktikan, karena sifatnya yang tertutup (under table).
Pengalaman penulis dalam hal penugasan tenaga
pendukung/ahli/konsultan adalah bahwa Unit Kerja sangat menyandarkan kerja
kepada tenaga konsultan tersebut, dan memperkejakannya secara maksimal. Dalih
pendayagunaan maksimal tersebut adalah bahwa konsultan sudah digaji mahal,
sehingga kontribusinya dituntut setinggi-tingginya. Namun jikalau hipotesa
remunerasi tinggi tersebut benar, maka ternyata jumlah riil yang diterima pun
mendapat potongan dari pemberi kerja.
Aktivitas potongan gaji untuk karyawan lepas, pada
saat ini bisa dibatasi, karena baik kas Negara mau pun kas lembaga donor
mensyaratkan pembayaran gaji langsung ke rekening karyawan. Namun ternyata secara
sembunyi atau pun terang-terangan, karyawan-karyawan jenjang tertentu yang
biasanya setingkat penyelia, akan meminta kontribusi gaji dengan alasan apa
pun. Apakah hal ini bisa digolongkan korupsi? Atau mungkin bisa dikatakan
sebagai penjajahan birokrasi? Faktanya adalah, penulis mendapati tenaga ahli
yang mendapat gaji per bulan setengah dari pagu yang ditetapkan (tercantum di
dalam kontrak kerja), dan setengah sisanya, menjadi bagian karyawan tetap (pns)
di unit kerja yang bersangkutan.
Penulis mendapati bahwa untuk sebuah tim
koordinasi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan pejabat Eselon I, Kerangka
Acuan Kerja (KAK) dan Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) menetapkan bahwa tim ini
akan berisi 12 tenaga ahli dan seorang sekretaris. Namun pada kenyataannya,
tenaga ahli yang diperkejakan hanya satu orang dan satu orang sekretaris.
Anehnya, ketika tim harus melaksanakan kunjungan lapangan, tidak ada dana yang
bisa dipergunakan untuk membiayai perjalanan dinas dan kegiatan rapat
koordinasi. Padahal butir tersebut tercantum di dalam RAB. Di akhir tahun
anggaran, laporan kegiatan mencatat penyerapan dana 100 persen. Percayakah anda
bahwa tim koordinasi ini berada di Kementerian yang telah menerapkan Reformasi
Birokrasi yang memiliki sasaran terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme, terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan
publik kepada masyarakat dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi.
No comments:
Post a Comment