Setiap unit kerja, tentu memerlukan alat tulis
kantor untuk menunjang pekerjaan para staf dan karyawan. Pengadaan alat tulis,
menjadi pos yang sangat rawan menyebabkan terjadinya kerugian Negara. Sekali
lagi kita tidak bisa mengasumsikan besaran yang dilibatkan adalah kecil, dan
dengan demikian kita mendiamkan saja proses yang salah tersebut.
Dengan mudah, unit kerja dapat mengikat kontrak
dengan penyedia alat kantor, yang dengan demikian tentu akan menguntungkan
mengingat harga yang ditetapkan akan lebih rendah, dan pembayaran dapat
dilakukan pascatransaksi penjualan. Contoh yang paling konkrit adalah pembelian
kertas. Harga kertas di pasaran adalah Rp. 30.000 per rim untuk ukuran A4, HVS,
80 gram. Jikalau diadakan kontrak tahunan, pembeliannya tentu saja lebih
banyak, dan harganya dapat lebih rendah, misalnya Rp. 28.000 per rim. Lebih
jauh lagi, pembayaran dapat dilakukan dengan kredit, yakni pembayaran tagihan
per bulan. Keuntungan lainnya adalah, barang yang dibeli, dihantar ke kantor
pembeli.
Pada kenyataannya, unit kerja memang mempunyai
langganan toko pemasok alat tulis kantor, dan pembayarannya pun dapat dilakukan
secara kredit. Namun demikian tetap saja dilakukan dengan penyelewengan, yakni:
- Harga ditetapkan pada harga pasar di toko swalayan terkenal, yang besarannya menjadi rujukan penetapan harga. Jikalau harga riil adalah Rp. 28.000, di dalam nota pembelian ditulis sebagai Rp. 30.000. Ada pun selisihnya akan dikembalikan oleh toko penjual (langganan) kepada unit kerja;
- Penggelembungan harga di atas kemudian dikombinasikan dengan menurunkan kualitas barang. Barang yang dipesan bukan lagi dengan spesifikasi di atas, namun menjadi kertas A4, HVS, 70 gram, yang harga per rimnya lebih murah dari harga satuan di atas. Misalnya harga satuan kertas jenis 70 gram ini adalah Rp. 26.000, manakala dalam nota diakui pembelian kertas jenis 80 gram.
No comments:
Post a Comment