Friday, April 26, 2013

Pengadaan Peralatan Kantor


Proyek kami memerlukan tambahan peralatan kantor, yakni Personal Computer, Laptop/Notebook serta Printer. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibentuklah panitia pengadaan barang dan jasa.  Karena nilainya di bawah 100 juta rupiah, maka dimungkinkan untuk dilakukan pemilihan langsung penyedia barang. Dinamakan pemilihan langsung, karena panitia menetapkan satu penyedia barang dari beberapa penyedia barang yang menyampaikan penawarannya. Para calon penyedia barang tidak perlu mengisi dokumen lelang dan membuat garansi bank serta tanda daftar rekanan, karena nilainya di bawah seratus juta rupiah.
Apakah dengan demikian, seluruhnya prosesnya transparan dan tidak terjadi kebocoran anggaran Negara? Mari kita kenali tahap-tahap penyelewengan yang terjadi.
  1. Vendor/penyedia barang adalah kenalan atau langganan dari kantor kami. Dan sebelum diadakan lelang, dia sudah menjadi pemenang;
  2. Vendor menyediakan beberapa penawaran, dengan menggunakan beberapa nama perusahaan; 
  3. Harga yang diajukan dalam penawaran biasanya lebih tinggi dari pada harga pasar barang tersebut;
  4. Panitia bersedia menunjuk/memenangkan vendor, dengan imbalan tertentu.

Kalkulasi penyelewengan adalah sebagai berikut:

P’=((p+m)x(1+tax))
P’: Harga kontrak
p: harga pasar
tax: pajak penjualan
m: margin keuntungan

Potensi kerugian Negara adalah sebesar margin keuntungan, karena sebenarnya harga barang tersebut di luaran adalah hanya sebesar p, yang sudah mengandung keuntungan vendor.
Pertanyaan selanjutnya adalah berapa besarnya m (margin atau pun mark-up)? Jawabannya tergantung kepada panitianya. Ada sebuah fakta, yakni saya pernah mendapati sebuah kegiatan melakukan pengadaan barang berupa laptop, yang harga per unitnya adalah sebesar Rp. 30 juta, manakala harga laptop tersebut di pasaran adalah Rp. 6 juta per unitnya.
Praktek kongkalikong ini lazim dilakukan di seluruh strata organisai/institusi. Yang lebih memprihatinkan, para panitia yang seluruhnya adalah Pegawai Negeri Sipil, juga menerima honorarium saat ditunjuk menjadi panitia pengadaan barang dan jasa, yang diterima di luar pendapatan tetap berupa gaji dan tunjangan.

Monday, April 22, 2013

Nilai Anggaran Sebuah Proyek


Atasan saya adalah seorang PNS yang menjabat Eselon 3 di sebuah kantor kementerian. Suatu hari, di ruang kerjanya, saya mendengar percakapan antara beliau dengan kolega beliau. Singkatnya percakapan tersebut saya rangkum sebagai berikut:

Atasan Saya (AS):
“Pak Wirok, si Kampret dari PT. Gangsir mau menyerahkan 4 laptop buat Direktorat, tolong diterima aja dan dibuatkan tanda terima ya. Sekalian masukkan inventaris kantor.”

Wirok:
“Lho, emang cukup ya pak, anggaran kegiatannya?”

AS:
“Wah, ya harus cukup. Waktu mau dapat proyek, saya sudah pesan, bahwa kalau mau dapat tendernya, ya paling enggak kita harus dapat 5 notebook. Baru saya kasih rekomendasi ke PPK.” (PPK adalah Pejabat Pembuat Komitmen)

Wirok:
“Hebat juga si Kampret, anggaran 400 juta bisa kasih ke kita lima laptop. Eh, empat atau lima sih pak, laptopnya?”

AS:
“Yang ke Direktorat empat unit saja, soalnya yang satu buat saya, pesanan khusus. Macbook. Gak usah dimasukkan inventaris lho pak.”
lanjut:
“ya si kampret pasti bisa lah, wong dia kan pemain lama. Anggaran 400 juta, paling yang kepake seratus buat perjalanan monitoring sekali. Seratus jadi Notebook buat kita. Lha, untungnya setengahnya sendiri kan?”

Wirok:
“Ah, aku mau minta bagian ah, buat ganti mobil.”

AS:
“ya udah, telpon aja si Kampret tuh, kalau mau minta bagian."

Kalau kita simak dan renungkan dialog di atas, ternyata penggelembungan angka anggaran itu bukan hanya pada kisaran 1-2 persen. Dalam perbincangan di atas, nilai riil sebuah proyek, ternyata hanya 25 persen dari anggaran yang disetujui.
Jadi, sebenarnya sudah tepatkah besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ribuan trilyun rupiah tersebut? Atau seharusnya nilai anggaran tersebut hanya seperempat atau sepertiga dari yang selama ini ditetapkan?

Friday, April 12, 2013

Pengadaan Tenaga Teknis Pendukung Kegiatan

Dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, sebuah unit kerja di Kementerian/Lembaga Negara, diperkenankan untuk mendapatkan bantuan atau pun menyewa tenaga ahli non-pegawai negeri. Mereka seringkali disebut sebagai support atau pun konsultan. Biaya pengadaan konsultan ini dapat dibebankan pada Negara melalui pembayaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), atau pun dibiayai oleh Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN). Perekrutan tenaga konsultan non-pegawai negeri sipil ini sangat rawan dengan penyelewengan anggaran, yang prakteknya lebih menyerupai praktik penyerahan upeti kepada birokrat. Ada pun praktik-praktik penyelewengan adalah sebagai berikut:

  1. Perekrutan tenaga konsultan yang dibayar di bawah pagu yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan. Namun tenaga konsultan menandatangani Surat Kontrak dengan nilai kontrak sesuai pagu. Selisih antara nilai kontrak dengan jumlah yang dibayarkan, menjadi ‘tambahan’ penghasilan unit kerja.
  2. Perekrutan tenaga ahli yang jumlahnya di bawah jumlah yang diperkenankan. Semisal dalam sebuah sekretariat pendukung kegiatan ditetapkan 5 orang tenaga ahli, namun pada kenyataannya hanya diperkejakan satu (1) orang tenaga pendukung. Namun demikian, unit kerja bersusah payah mendapatkan kontrak dengan tenaga fiktif, sehingga dalam pembukuannya, tenaga ahli yang direkrut adalah sebanyak yang diijinkan. Tenaga fiktif yang dipinjam tandatangannya untuk pengisian daftar hadir bulanan dan kontrak aspal, mendapat balas jasa sejumlah tertentu setiap bulannya dan telah disepakati bersama antara unit kerja (bisa Pejabat Pembuat Komitmen atau pun staf lainnya, bahkan bisa juga pejabat eselon III atau pun II, bahkan eselon I).   
  3.  Tenaga konsultan yang dibiayai dengan PHLN, biasanya ‘diminta’ kerelaannya untuk menyumbang kepada unit kerja. Alasannya adalah remunerasi yang dibayarkan oleh donor lebih tinggi dari pada yang dibayarkan oleh Negara melalui APBN. Alasan lain yang digunakan adalah kontribusi tersebut akan digunakan untuk subsidi silang bagi pegawai rendah di unit kerja yang bersangkutan. Permasalahan akan timbul ketika konsultan meminta surat keterangan penerimaan ‘sumbangan’, karena tentu saja, konsultan harus membayar pajak yang lebih tinggi dari penerimaan riil yang didapat. Unit kerja tidak bersedia memberikan surat keterangan tersebut, karena jika surat tersebut diterbitkan, unit kerja akan mengakui ‘pemerasan’ yang terjadi. Meskipun lembaga donor yang memberikan bantuan PHLN melakukan audit tahunan melalui Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), namun penyelewengan ini tidak pernah bisa dibuktikan, karena sifatnya yang tertutup (under table).
Pengalaman penulis dalam hal penugasan tenaga pendukung/ahli/konsultan adalah bahwa Unit Kerja sangat menyandarkan kerja kepada tenaga konsultan tersebut, dan memperkejakannya secara maksimal. Dalih pendayagunaan maksimal tersebut adalah bahwa konsultan sudah digaji mahal, sehingga kontribusinya dituntut setinggi-tingginya. Namun jikalau hipotesa remunerasi tinggi tersebut benar, maka ternyata jumlah riil yang diterima pun mendapat potongan dari pemberi kerja.
Aktivitas potongan gaji untuk karyawan lepas, pada saat ini bisa dibatasi, karena baik kas Negara mau pun kas lembaga donor mensyaratkan pembayaran gaji langsung ke rekening karyawan. Namun ternyata secara sembunyi atau pun terang-terangan, karyawan-karyawan jenjang tertentu yang biasanya setingkat penyelia, akan meminta kontribusi gaji dengan alasan apa pun. Apakah hal ini bisa digolongkan korupsi? Atau mungkin bisa dikatakan sebagai penjajahan birokrasi? Faktanya adalah, penulis mendapati tenaga ahli yang mendapat gaji per bulan setengah dari pagu yang ditetapkan (tercantum di dalam kontrak kerja), dan setengah sisanya, menjadi bagian karyawan tetap (pns) di unit kerja yang bersangkutan.
          Penulis mendapati bahwa untuk sebuah tim koordinasi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan pejabat Eselon I, Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) menetapkan bahwa tim ini akan berisi 12 tenaga ahli dan seorang sekretaris. Namun pada kenyataannya, tenaga ahli yang diperkejakan hanya satu orang dan satu orang sekretaris. Anehnya, ketika tim harus melaksanakan kunjungan lapangan, tidak ada dana yang bisa dipergunakan untuk membiayai perjalanan dinas dan kegiatan rapat koordinasi. Padahal butir tersebut tercantum di dalam RAB. Di akhir tahun anggaran, laporan kegiatan mencatat penyerapan dana 100 persen. Percayakah anda bahwa tim koordinasi ini berada di Kementerian yang telah menerapkan Reformasi Birokrasi yang memiliki sasaran terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

Penyelewengan dalam Perjalanan Dinas



Perjalanan dinas merupakan kegiatan yang diperlukan dalam melakukan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Biasanya perjalanan dinas dilakukan untuk menghadiri rapat dengan lembaga terkait di daerah atau untuk mendapatkan informasi tertentu terkait daerah yang dikunjungi. Perjalanan dinas juga sering digunakan untuk melaksanakan rapat kerja atau pun rapat koordinasi internal kementerian/lembaga. Penggunaan tempat di luar domisili kerja, dimaksudkan agar peserta dapat lebih berkonsentrasi dalam berdiskusi, dan tidak diganggu oleh rutinitas keseharian.
Kegiatan perjalanan dinas, sudah lama menjadi sumber penghasilan tambahan bagi para penyelenggara Negara (pegawai negeri). Sangat mudah untuk mengakali pos pengeluaran perjalanan dinas, dan berpotensi menggerogoti keuangan Negara dan memperkaya diri sendiri. Suatu langkah bijak, Menteri Keuangan memangkas pos pengeluaran perjalanan dinas pada APBN 2013. Apa saja yang biasanya dilakukan untuk menggerogoti uang rakyat dengan menggunakan pos perjalan dinas? Berikut kami sampaikan beberapa aktivitas yang kami ketahui:

Penggelembungan harga tiket

Peraturan menteri keuangan memberikan batasan atas bagi harga tiket penerbangan, dan tentu saja hal ini akan sangat mudah dilakukan. Unit kerja biasanya mempunyai biro perjalanan langganan yang dapat memberikan harga khusus langganan. Lucunya, harga yang ditetapkan adalah harga tertinggi. Unit kerja melalui Kantor Kas Negara akan membayar secara langsung kepada biro perjalanan bersangkutan. Yang luput dari pemeriksaan inspektorat adalah adanya aliran dana balik ke rekening perseorangan dari biro perjalanan bersangkutan.

Penggelembungan peserta perjalanan dinas

Hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkaya diri melalui pos perjalanan dinas adalah dengan menambah atau menggelembungkan peserta perjalanan dinas. Biasanya, pelaku perjalanan dinas menerima titipan beberapa Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) yang belum diisi pesertanya, untuk dimintakan tanda tangan dan stempel lembaga pejabat berwenang di daerah tujuan perjalanan. Sekembalinya ke daerah asal, SPPD tersebut diisi dan disertai dengan bukti-bukti pendukung untuk bisa ditarik dananya dari Kas Negara. Tentu timbul pertanyaan, apakah mungkin menyediakan bukti-bukti pendukung pengeluaran seperti yang disyaratkan, seperti nota pembelian tiket, tiket, pas naik pesawat (boarding pass), dan nota pembayaran penginapan?

  1. Nota pembelian tiket fiktif , tentu saja sangat mungkin untuk mendapatkan nota pembelian tiket asli tapi palsu (aspal/fiktif). Apalagi seperti yang telah diungkapkan di atas, biro perjalanan yang digunakan adalah biro perjalanan langganan dari unit kerja bersangkutan.
  2. Tiket fiktif, sama halnya dengan nota pembelian yang fiktif, tiket fiktif pun dapat dikeluarkan oleh biro perjalanan langganan.
  3. Boarding pass fiktif, untuk bukti yang satu ini, saat ini sudah agak sulit diperoleh. Hingga tahun 2010 ada beberapa biro perjalanan nakal, yang mampu menerbitkan boarding pass aspal/fiktif dengan nama sesuai pesanan. Apakah saat ini hal ini masih bisa didapatkan, nyatanya praktek penitipan SPPD masih saja dilakukan.
  4. Nota pembayaran penginapan fiktif, untuk bukti ini, agak lebih mudah mendapatkannya, yakni dengan meminta penyedia jasa (hotel/penginapan) untuk menyatukan beberapa kamar dalam sebuah nota. Siasat lain adalah dengan meminta hotel/penginapan menerbitkan nota fiktif dengan nama tertentu sesuai pesanan. Hotel/penginapan biasanya sangat ‘kooperatif’ dengan bersedia menerbitkan nota fiktif. Tentu saja ada biaya tambahan untuk mendapatkan hal ini, yang biasanya berkisar 6% dari biaya yang dituliskan atau pun bersifat lump sum, yakni sebesar Rp 100 ribu rupiah per nota. Biaya ini relatif kecil dibandingkan dengan potensi dana yang akan didapatkan, sehingga unit kerja akan bersedia membayar.

Pengadaan Stasioneri atau Alat Tulis Kantor


Setiap unit kerja, tentu memerlukan alat tulis kantor untuk menunjang pekerjaan para staf dan karyawan. Pengadaan alat tulis, menjadi pos yang sangat rawan menyebabkan terjadinya kerugian Negara. Sekali lagi kita tidak bisa mengasumsikan besaran yang dilibatkan adalah kecil, dan dengan demikian kita mendiamkan saja proses yang salah tersebut.
Dengan mudah, unit kerja dapat mengikat kontrak dengan penyedia alat kantor, yang dengan demikian tentu akan menguntungkan mengingat harga yang ditetapkan akan lebih rendah, dan pembayaran dapat dilakukan pascatransaksi penjualan. Contoh yang paling konkrit adalah pembelian kertas. Harga kertas di pasaran adalah Rp. 30.000 per rim untuk ukuran A4, HVS, 80 gram. Jikalau diadakan kontrak tahunan, pembeliannya tentu saja lebih banyak, dan harganya dapat lebih rendah, misalnya Rp. 28.000 per rim. Lebih jauh lagi, pembayaran dapat dilakukan dengan kredit, yakni pembayaran tagihan per bulan. Keuntungan lainnya adalah, barang yang dibeli, dihantar ke kantor pembeli.
Pada kenyataannya, unit kerja memang mempunyai langganan toko pemasok alat tulis kantor, dan pembayarannya pun dapat dilakukan secara kredit. Namun demikian tetap saja dilakukan dengan penyelewengan, yakni:
  1. Harga ditetapkan pada harga pasar di toko swalayan terkenal, yang besarannya menjadi rujukan penetapan harga. Jikalau harga riil adalah Rp. 28.000, di dalam nota pembelian ditulis sebagai Rp. 30.000. Ada pun selisihnya akan dikembalikan oleh toko penjual (langganan) kepada unit kerja;
  2. Penggelembungan harga di atas kemudian dikombinasikan dengan menurunkan kualitas barang. Barang yang dipesan bukan lagi dengan spesifikasi di atas, namun menjadi kertas A4, HVS, 70 gram, yang harga per rimnya lebih murah dari harga satuan di atas. Misalnya harga satuan kertas jenis 70 gram ini adalah Rp. 26.000, manakala dalam nota diakui pembelian kertas jenis 80 gram.


Bisakah dibayangkan cashback (pengembalian) yang didapatkan oleh para karyawan di unit kerja tersebut? Saat ini mungkin Peraturan Menteri Keuangan tidak menetapkan harga perolehan aktual (at cost), namun dengan penetapan biaya maksimum per orang per tahun sebesar Rp. 1.300.000, namun pengadaannya tidak dilakukan oleh orang per orang, namun dilakukan oleh unit kerja. Tetap saja, lubang kebocoran dapat dirasakan, yakni dengan menetapkan pembelian sebesar biaya maksimal, namun jumlah alat tulis yang dibeli hanyalah sesuai kebutuhan.

Pembayaran Uang transportasi rapat


Peraturan menteri keuangan, mengijinkan pos pengeluaran uang transportasi rapat dalam kota, yang besarnya bervariasi untuk tiap provinsi. Peserta rapat, berhak mendapatkan biaya perjalanan/uang transport, apalagi jika rapat yang dihadiri berdurasi cukup panjang. Nah, uang transport ini tidak jelas dibayarkan oleh siapa. Penyelenggara (pengundang) rapat akan menyediakan uang tersebut, manakala instansi tempat karyawan bekerja (pihak diundang) pun menyediakan uang transport ini. Ada pun bukti pengeluaran yang dapat dibenarkan adalah daftar hadir (pengundang rapat) dan nota sederhana yang ditandatangani sendiri oleh peserta rapat yang kemudian diklaim-kan kepada instansi tempatnya bekerja, dan ini menjadi beban instansi yang diundang.
Sebuah pos (uang transport) dibebankan pada 2 instansi (double posting), yakni di instansi pengundang mau pun di instansi yang diundang. Belum lagi jika kita melihat kenyataan bahwa, para peserta rapat tersebut diantar-jemput ke dan dari tempat rapat dengan menggunakan kendaraan operasional. Dengan demikian ada pos tambahan lainnya, yakni biaya Bahan Bakar Minyak (ditambah ongkos parkir) kendaraan operasional yang digunakan.

             Manipulasi yang dilakukan terkait praktik uang transport ini sangat sederhana, dan telah dilakukan sejak lama. Peserta rapat menandatangani daftar hadir rangkap tiga. Salah satu dari daftar hadir tersebut adalah bukti penerimaan/pembayaran uang rapat/tranpor. Uang yang besarnya Rp. 110 ribu rupiah, dapat saja dibayarkan penuh, sebagian atau pun tidak dibayarkan sama sekali. Jika opsi dibayarkan sebagian atau tidak dibayarkan diambil oleh penyelenggara rapat, maka penyelenggara rapat telah mendapatkan ‘keuntungan’ dari penyelenggaraan rapat di tempatnya. Tidak perlu dikuatirkan mengenai bukti kesalahan, karena peserta telah menandatangani daftar hadir dan bukti penerimaan uang transpor.

Thursday, April 11, 2013

Pengadaan Konsumsi Rapat

Rapat merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh segala pihak baik dalam skala kecil mau pun skala besar. Dalam administrasi pemerintahan, rapat dilakukan secara internal, mau pun secara eksternal, baik yang bersifat koordinasi, maupun bersifat konsultasi atau pun sosialisasi. Lazimnya dalam rapat, disediakan ‘refreshment’ atau pun penyegar baik berupa minuman mau pun makanan, baik makanan kecil atau pun besar. Nilai dari refreshment tersebut diatur besarnya dalam Peraturan Menteri Keuangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Ada pun untuk bukti pelaksanaan kegiatan adalah (1) daftar hadir peserta rapat; (2) risalah rapat dan bukti tambahan berupa (3) foto/gambar kegiatan. Sedangkan bukti pengeluaran yang akan diklaimkan kepada Kas Negara adalah bukti-bukti di atas ditambah dengan kuitansi/nota pembelian refreshment.
Dalam penyelenggaraan rapat, baik internal mau pun eksternal, beberapa hal penyelewengan penggunaan anggaran yang terjadi adalah:

  1.  Penggelembungan harga (mark-up) harga satuan makanan. Semisal harga sebuah lemper adalah Rp. 1000 per buahnya, pelaksana rapat (apa pun jabatannya) meminta kepada penjual untuk mencantumkan Rp. 1500 per buahnya dalam nota pembelian. Jika diasumsikan dalam seminggu diadakan 2 kali rapat per unit kerja, dan setiap makananya dikenakan penggelembungan 50 persen, maka pada pos kegiatan penyelenggaraan rapat saja, sudah terjadi penggelembungan sebesar 50 persen, dan berarti potensi kerugian Negara (uang para pembayar pajak) telah disalahgunakan sebesar 50 persen. Para penjual makanan langganan pun dengan mudah memberikan nota kosong yang telah ditandatangani dan dicap, untuk diisi oleh penyelenggara rapat/pembeli. Silakan dibayangkan jumlah yang lebih besar dalam penyelewengan anggaran untuk pos ini.
  2. Penggelembungan harga juga dapat dilakukan dengan mengklaim sejumlah harga maksimum. Untuk tahun 2013, Peraturan Menteri Keuangan No. 37/PMK.02/2012 mengenai Satuan Biaya Tahun 2013 menetapkan harga paket makanan kecil untuk rapat adalah sebesar Rp. 14.000 per orang. Manakala harga satu paket makanan kecil untuk konsumsi rapat, bisa didapatkan sebesar Rp. 6000 – Rp. 10.000 per orangnya. Terdapat selisih Rp. 4000 per orang, dan jika dikalikan jumlah peserta rapat, maka jumlah tersebut menunjukkan anggaran Negara yang bocor per rapat per satu unit kerja. Kemudian, jika rapat yang diadakan ternyata melewati waktu makan, maka penyelenggara/pihak pengundang dengan murah hati pun memberikan makan siang. Pagu harga makan siang untuk DKI Jakarta per orang per rapat adalah sebesar Rp. 39.000, manakala paket makan siang yang disediakan bernilai di bawah pagu tersebut. Selisih antara pagu harga dengan harga riil, tentu saja menjadi ‘keuntungan’ unit kerja penyelenggara rapat. Pernahkah kita menghitung berapa jumlah rapat yang diadakan yang dibiayai oleh anggaran Negara?
  3. Penambahan jumlah peserta rapat dalam daftar hadir. Hal ini sangat mudah dilakukan, dengan cara meminta tanda tangan pada para pramubakti, anggota satuan pengamanan dan sebagainya. Dikombinasikan dengan penggelembungan harga, maka penyalahgunaan anggaran menjadi lebih besar lagi.
  4. Penyelenggaraan rapat fiktif. Terkadang, meskipun telah direncanakan dan dianggarkan, sebuah unit kerja tidak dapat melaksanakan rapat tersebut. Namun sayang sekali jika anggaran yang telah ditetapkan tidak digunakan. Makanya, dibuatlah sebuah rapat fiktif, dengan pembuatan bukti-bukti fiktif. Jika nota pembelian refreshment tidak bisa didapatkan, dalam kondisi saat ini, sangat mudah untuk merekayasa pembuatan bukti pembayaran.

          Masyarakat awam, mungkin menganggap bahwa jumlah yang dilibatkan tidak signifikan, namun demikian penyelenggaraan rapat ini diselenggarakan mulai dari unit kerja terkecil tingkat kantor kelurahan, kantor kecamatan, hingga pemerintah pusat (antar kementerian). Untuk menjamin Pemerintahan yang bersih, seharusnya kita tidak mentolerir sekecil apa pun jumlah penyelewengan anggaran.

Korupsinya Pramubakti

Indonesia dikejutkan dengan kegiatan "penembakan" di LP Cebongan, yang dilakukan oleh satuan tertentu dari militer. Ada yang pro ada yang kontra, dan belakangan ini menjurus kepada isu pembasmian preman. Sebagai orang yang sangat tidak menyukai preman, saya setuju dengan dorongan masyarakat untuk menghilangkan segala praktek premanisme. Namun tahukah kita, bahwa premanisme di Indonesia berwujud dalam berbagai bentuk. Saya ingin membicarakan premanisme yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil.

Para PNS pada tiap strata/tingkatannya telah melakukan  bentuk-bentuk premanisme yang berbentuk pada pemerasan uang negara. Kata lain dari premanisme jenis ini adalah korupsi. Hebatnya lagi, bentuk premanisme (korupsi) dilakukan oleh para PNS, tanpa memandang jabatan, atau pun golongan pegawai negeri sipil.

Mari kita lihat strata yang paling bawah. Golongan terendah, yang bertugas melayani kegiatan kantor, sebut saja pramubakti, telah melakukan praktek-praktek premanisme dalam aktivitas perkantorannya. Salah satu bentuk dari korupsi atau premanisme di tingkat ini adalah: tidak bekerja jika tidak mendapatkan uang tip. Untuk meminta seorang pramubakti membersihkan ruangan rapat, atasan harus merelakan beberapa ribu rupiah, hingga pramubakti mau melakukan tugasnya yang sudah mendapatkan gaji dari negara.

Praktek berikutnya adalah penggandaan dokumen, untuk membuat seorang pramubakti mau melakukan tugasnya menggandakan dokumen, pramubakti memerlukan insentif tertentu pula. Juga ketika dimintai tolong untuk menghantarkan atau mengedarkan surat, apalagi jika surat tersebut berimplikasi moneter (ada nilai uangnya), seperti tanda tangan absensi atau pun pemberian honorrarium. Kadang seorang pramubakti, atau pun kurir, berdiri tak bergerak, hingga penerima surat atau honorarium memberikan sekedar 'uang gula-gula'.

Lalu apakah segala bentuk penggajian yang selama ini diterapkan memang tidak layak. Apa pun namanya, apakah itu remunerasi atau merit system atau apa pun juga, selama masih ada peluang dan ketiadaan rasa malu, niscaya premanisme (baca: korupsi), masih akan ada.

Pembahasan korupsi pada tingkat-tingkat berikutnya akan saya sampaikan pada tulisan selanjutnya.